rss
twitter

Menkes Tolak Akui UU "Revisi"

0

posted by | Posted in , | Posted on

sumber : kompas.com

Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan hanya mengakui Undang-Undang Kesehatan yang memuat ayat mengenai tembakau sebagai zat adiktif. Undang-undang itu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.

Dalam UU Kesehatan yang beredar di masyarakat, ayat yang menyatakan tembakau sebagai zat adiktif tak tercantum atau hilang. Hilangnya ”ayat tembakau” tersebut menimbulkan kecurigaan adanya intervensi pihak luar.

Ayat (2) Pasal 113 UU Kesehatan yang hilang tersebut berbunyi, zat adiktif sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya. Ayat itu kemudian raib setelah perundang-undangan tersebut disetujui sekalipun penjelasan mengenai ayat itu masih termuat di dalamnya.

Departemen Kesehatan telah mengecek dan melihat perbedaan antara UU Kesehatan yang disetujui dalam rapat paripurna dan salinan yang diterima setelah pengesahan itu.

Siti Fadilah mengatakan tidak mengetahui bagaimana tepatnya ayat tersebut menghilang. ”Kami mempunyai keduanya dan memang ayatnya sudah hilang. Aneh ya, Ayat (2) hilang begitu saja. Kita pakai yang disahkan paripurna sebagai institusi tertinggi,” ujar Siti Fadilah, Senin.

Mantan anggota Panitia Kerja RUU Kesehatan dan anggota Southeast Asia Tobacco Control Alliance, Hakim Sorimuda Pohan, mengatakan, setelah disetujui dalam rapat paripurna, seharusnya perundang-undangan tersebut tidak dapat berubah lagi.

Hakim menjelaskan, pada 30 September 2009 ia menerima hasil cetakan UU Kesehatan yang sudah berlogo DPR dan tidak ada Ayat (2) Pasal 113 termuat di dalamnya. ”Saya bertanya ke Sekretariat Komisi IX DPR dan mendapatkan jawaban bahwa sekretariat menerima kembalian dari sekretariat negara dengan kondisi Ayat (2) sudah hilang,” ujarnya.

Menurut dia, pada 6 Oktober lalu ia ditemui Kepala Bagian Sekretariat Komisi IX DPR. Ia menginformasikan bahwa ayat tersebut sudah masuk lagi. ”Persoalannya tidak lagi sekadar ayat itu dimasukkan kembali, tetapi terdapat percobaan menghilangkan ayat,” ujarnya.

Sekjen DPR Nining Indra Saleh ketika dikonfirmasi semalam langsung mengecek persoalan tersebut kepada Kepala Biro Persidangan Bambang Susetio Nugroho. Menurut Nining, dari hasil pengecekan ternyata informasi yang dia dapatkan, hilangnya pasal tersebut karena faktor teknis semata.

”Tidak ada yang hilang. Itu hanya teknis. Pada naskah asli pasal itu ada. Nanti akan ada perbaikan,” ujarnya.
Nining belum mengetahui secara pasti di bagian mana kesalahan itu terjadi dan siapa yang harus bertanggung jawab.

Usut pelaku dan motifnya

Pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, mengatakan, ”kudeta redaksional” yang terjadi pada UU Kesehatan tak bisa dianggap sepele. Ini persoalan serius yang semestinya harus diusut, siapa pelaku dan motifnya.”Jangankan menghilangkan butiran ayat dari sebuah pasal, mengubah titik-koma pun harus melalui Rapat Paripurna DPR,” ujarnya.

Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Fadjroel Falakh, menyoroti kurang ketatnya prosedur pembahasan RUU sebelum disetujui dalam paripurna. Ia menyayangkan tidak adanya pembacaan akhir atau final reading untuk setiap RUU yang dibahas DPR, mulai dari bagian pembuka hingga penutup. ”Kita tidak punya prosedur seketat itu,” ujar Fadjroel.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Lodewijk Gultom mengatakan, hilangnya satu ayat dalam UU Kesehatan memang keterlaluan. Hal itu bisa berdampak pada pidana politik, yaitu melemahkan wibawa pemerintah.

Secara hukum, ketentuan yang paling mengikat adalah ketentuan di dalam rapat paripurna. Meskipun sudah diumumkan dalam lembaran negara, UU Kesehatan itu masih bisa diubah dan dikembalikan sesuai dengan hasil rapat paripurna.

”Yang mengikat adalah RUU yang disahkan di paripurna. Jadi, jika telanjur dicantumkan dalam lembaran negara, pemerintah bisa meralat dengan menyusulkan ayat yang tertinggal dalam lembar negara baru,” ujar Lodewijk.

Jadi payung hukum
Hakim mengatakan, dengan tercantumnya ”ayat tembakau”, pemerintah berkewajiban menyosialisasikan kepada masyarakat bahwa tembakau merusak dan menyebabkan kecanduan. ”Ayat itu memberikan payung hukum sekaligus mengakhiri debat kusir apakah tembakau menguntungkan atau merugikan negara. Selama ini selalu ada pembelaan bahwa cukai rokok menguntungkan karena memberikan tambahan penghasilan besar bagi negara. Akan tetapi, pendapatan itu semu karena yang membayar cukai itu bukan industri rokok, tetapi para perokok,” ujarnya.

Pakar dan pengamat kesehatan, Kartono Mohamad, mengatakan, kasus menghilangnya ayat tersebut harus diusut sampai tuntas oleh Badan Kehormatan DPR. ”Kasus itu juga akan dilaporkan ke kepolisian. Hilangnya ayat mengenai tembakau tersebut memunculkan kecurigaan adanya intervensi dari pihak luar,” ujarnya. (INE/SUT/ANA/NAL)

Comments (0)

Post a comment